Selasa, 15 Desember 2015

sengkuni ngudarasa yang mulia

net/ilustrasi
Gonjang-ganjing perang besar Baratayuda di medan Kurukshetra antara Pandawa kontra Korawa begitu santer diberitakan. Beberapa kali menjadi trending topic. Beberapa hari malah dijadikan breaking news. Sejenak di sela itu tanpa disadari ada dialog. Di tempat sempit ketika hampir terkuak siapa sebenarnya pembuat kegaduhan ini. Siapa lagi kalau bukan Sengkuni.

Diam-diam Sengkuni dipanggil Paduka Yang Mulia Dretarastra. Sengkuni diadili dan dipojokkan di depan Duryadana dan kakaknya Gandari. Seperti pada sidang beberapa hari kemarin. Frasa Yang Mulia selalu keluar dari mulut Sengkuni. Frasa yang tepat digunakan pada zamannya di masa feodalisme. Kalau sekarang tak pantas dong karena telah dihapus sejak tahun 1966 silam dengan ketentuan TAP MPRS. Sengkuni dengan tunduk lesu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Yang Mulia.

“Sengkuni!”
“Iya Yang Mulia.”
“Saya mau bertanya yang benar. Jangan kau tambah dan kurangi. Katakan apa adanya. Lakon Baratayuda Binangun ini, kamu ikut buat atau tidak?”
“Iya saya ikut Yang Mulia.”
“Sejak kapan?”
“Sejak Pandawa bermain dadu.”
“Yang membuat Pandawa bermain dadu itu siapa?”
“Ya saya. Karena saya bandarnya.”

Yang Mulia Drestarasta pun semakin marah. Lantas terus bertanya dari baris ke baris.
“Jadi kamu datang bersama kakakmu sudah punya niat ingin menumpas keturunan Begawan Abiyasa?”
“Tidak Yang Mulia.”
“Terus bagaimana, karena suasananya seperti sekarang ini. Coba pikirkan perang Pandawa-Kurawa sampai anakku mati semua. Jadi coba ulangi apa yang kau harapkan? Ada rencana apa? Bukan perang yang kita bahas tapi apa yang ada dalam hatimu dan di logikamu sampai membuat perang seperti ini?”

Sengkuni tampak berang. Ia tak mau disalahkan begitu saja oleh Yang Mulia. Tak mau ditanya bak menghakimi. Terdakwa Sengkuni. Ia pun kemudian balik bertanya kepada Yang Mulia.

“Sebelum berkata banyak. Apa orang sebanyak ini hanya saya yang paling jelek sendiri? Apa wayang sekotak ini hanya Sengkuni yang paling jelek Yang Mulia?”
Lha baikmu di mana?”
“Begitu tunggu dulu Yang Mulia. Perlu diingat Yang Mulia. Jangan sampai melupakan budi orang lain. Memang saya mengakui salah. Namun apa Yang Mulia tidak merasa salah?”
“Kurang ajar kau? Ku pukul kepalamu. Kamu mencari alasan malah catut-catut bawa nama Yang Mulia?”
“Tunggu dulu Yang Mulia. Saya mau bertanya, Kurawa itu anaknya siapa?”
“Kurawa itu anak saya. Dasar orang gila. Kurawa itu anakku, yang juga kakakmu Gandari.”

“Yang Mulia dulu pernah berkata kepada saya. Sengkuni aku titip keponakanmu, carikan kemuliaan. Sekarang Duryadana jadi raja itu yang merekayasa saya. Dursasana jadi mahapatih saya yang merekayasa Yang Mulia?”
“Perkara mencari kemuliaan dengan jalan yang baik itu banyak.”
“Ah Yang Mulia. Baik dan tidak itu bergantung siapa yang melakukan. Baik saya belum tentu bagus bagi Yang Mulia. Tetapi pekerjaan saya sudah selesai. Saya Yang Mulia titipi anak dan sekarang sudah jadi semua.”

“Tetapi tetap mengaku saya jadi gaduh seperti sekarang ini. Tetapi ingat Yang Mulia, rusaknya Sengkuni bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk memuliakan keluarga Yang Mulia. Dan saya tanggungjawab membuat situasi seperti sekarang ini. Sekarang saya akan tebus dosa. Saya tidak mau, Sengkuni mati seperti katak, saya malu. Manusia penuh dengan dosa kalau mati harus gagah di medan perang.”

Sengkuni pergi ke medan laga. Ia ingin bertanggungjawab telah berbuat gaduh dan menyebabkan perang Baratayuda. Lalu Prabu Drestarasta berpikir ulang. Bahkan ia mengacungkan jempol kepada Sengkuni. Ia juga merasa bersalah lalu berkata. “Sengkuni, kelakukannya memang jelek tapi kamu masih punya sifat baik, tanggungjawabnya.” (*)

0 komentar:

Posting Komentar