Selasa, 12 Januari 2016

senyap di taman baca

ilustrasi-ruang perpustakaan-net
             Sudut tembok begitu kokoh. Batu bata bercampur semen tebal tertata rapi. Sela-sela jeruji besi membujur di depan. Suara-suara nyaring penuh amarah. Teriakan lantang mengupas ketidakpuasan. Sedangkan aku tetap bersila di tepi ruang itu. Terkadang bersujud, namun hanya sesekali. Butiran tasbih sejumlah 99 melintas di sela-sela jari tangan kanan. Mulut bergumam dengan kalam-kalam penuh arti. Kata-kata dari langit. Caraku. Itulah juga yang aku sebut bagian dari sembahyang.
Tubuhku semakin kurus meski baru tiga bulan akan berada di sini. Aku terbenam berpikir keras hingga tak lahap makan sajian yang dihidangkan setiap hari. Lebih dari itu, aku tak pernah terbayang ada di sini. Sendiri siang dan malam hari. Terkadang terlintas pikiran apa salahku? Di mana letak kemungkaranku? Atau apa yang membahayakan dari diriku? Suasana batin tak kunjung tenang. Usia setua ini masih meronta. Lantas pasrah dengan proses kematian tubuh dan waktu. Tak perlu waktu lama menunggu. Sebentar lagi pagi beranjak siang.
Bayangan mereka tiba-tiba mengangkat tubuh hingga berdiri. Anak-anak, pemuda-pemudi yang gigih belajar setiap bait yang ku ajarkan. Haus wawasan, arti perbedaan, hingga keyakinan. Datang dari pelbagai daerah dengan penuh semangat melaksanakan satu per satu syariat yang kucontohkan. Atau para orang tua yang dengan senang hati meritualkan rukun-rukun ajaran keyakinan. Dua atau tiga orang lanjut usia khusyuk berdiskusi dengan alam mereka. Terkadang juga berbincang dengan mereka yang umurnya jauh di bawahnya.
Bagiku semuanya adalah perjalanan. Di usia sekarang ini, apalagi yang kucari. Masa bahagia bersama istri, anak, dan cucu telah terpadu. Hura-hura di masa muda telah menjadi bagian cerita. “Kamu murtad. Mendustakan agama. Kau telah cederai ajaran agama. Prasojo Kastomo!”
Sayup-sayup kalimat itu membangkitkan semangat hidupku.
“Saudara-saudara. Kita beribadah menjalankan perintah-Nya. Sesuai dengan ajaran-Nya. Ikhlas, berjalan lurus, semua telah tercukupi. Keluarga telah mengerti dan berbakti kepada orang tua. Keadaan sehat tanpa adanya hal yang menjadi perintang dalam mengarungi perjalanan hidup. Jalan memang tidak selalu lurus, meski begitu kita tetap sandarkan kehidupan ini menjadi keseimbangan. Keseharian kita menjadi perjalanan yang nyata.”
Kata-kata waktu itu yang pernah kuucapkan kepada mereka. Dimengerti tanpa mengindahkan tendensi dan latar belakang. Kujelaskan arti kehidupan yang sebesar-besarnya, bebas tanpa ikatan, atau bersembunyi di balik busana.
“Kita harus hati-hati kepada mereka. Yang berpakaian serba putih, jubah. Membawa tasbih atau salib. Atau pakaian berdasi seolah mereka yang bertingkah baik tanpa ada prasangka dari luar.”
“Kalau mereka yang pakaian semrawut. Rambut gondrong, tato di sekujur tubuh, asap rokok tak lepas dari mulut. Profesi dan pekerjaan berbeda. Justru, kalau saya perhatikan sebenarnya mereka ingin bertanya atau sekadar memberi argumentasi. Tetapi mereka seolah-olah tak peduli. Begitu juga kita. Apalagi hanya instrumen yang mengubah suasana dari malas menjadi lebih agresif untuk memberi argumentasi atau opini ringan. Ah apalagi kalau ada proyek.”
Semua yang hadir bebas bicara. Proses demokrasi berjalan. Tak ada lagi voting namun penguatan argumentasi. Kebebasan seperti ini yang kami jalani.  Selama ini membuat suasana bahagia. Mereka lebih leluasa. Orangtua kasih sayang tulus kepada anak-anak mereka. Begitu juga dengan anak mereka bergerak mengikuti hati dan angan dengan riang tanpa mengecewakan orangtua. Kebaikan manusiawi begitu tampak. Mereka meleburkan latar belakang mengikuti titik fokus yang menjadi panutan.
Namun itu tak sepertiku. Ranu, anakku satu-satunya justru meninggalkan sendiri di rumah sebesar ini. Ia pergi bersama istrinya karena tidak mau ikut campur dengan urusanku. Aku relakan. Bagiku itu pilihan. Taman bunga yang ku pelihara sejak perkawinanku dengan ibunya Ranu kini menjadi tempat peraduan belajar. Aku sehari-hari dibantu pembantu setia Jono dan Mbok Yah. Segala macam urusan rumah tangga termasuk mempersiapkan kegiatan dikerjakan bersama-sama. Hari-hariku tak lepas dari membaca literatur dari buku terbitan dalam negeri dan luar negeri.
Kesepian itu tak berlangsung lama. Rumah tempat tinggalku kini selalu ramai dengan mereka. Ya, anak-anak muda, perempuan karir, ibu-ibu, dan laki-laki lanjut usia. Mereka merasakan kebahagiaan, melepaskan pemikiran atau dogma selama ini. Keceriaan mereka melepas masa senja seperti di pengujung cerita. Mereka datang biasanya pada minggu. Pagi hingga sore hari. Menikmati membaca buku-buku koleksi dan hasil sumbangan dari beberapa teman. Tumpukan perpustakaan terbuka membuat nyaman.
Koleksi buku dan tulisan menjadi daya tarik bagi mereka. Ada sebuah ruang tempat menumpuk dan memajang buku. Tak luas ruang perpustakaan di samping kanan rumah itu. Satu ruang dengan ukuran tujuh meter kali empat meter. Di dalam terdapat rak buku 300 centimeter lawan 50 centimeter dan 200 centimeter sebanyak tiga buah. Buku-buku filsafat menjadi koleksi terbanyak. Mulai dasar-dasar filsafat hingga penerapan. Literatur yang membuatku bertahan ketika di ruang kuliah saat debat dengan mahasiswa.
Kemudian buku fiksi sastra cukup banyak dibaca juga. Karya-karya pujangga lama seperti karya Hamzah Fansuri yang pertama menulis. Juga keelokan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Pilihannya juga karya-karya Angkatan Balai Pustaka. Ah! Novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli tetap menjadi idola dari tahun ke tahun. Juga Salah Asuhan yang menjadi bahan perdebatan. Tak kalah ramainya ketika diskusi dengan teks novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja.
Satu rak khusus tempat buku agama. Teori agama adalah budaya. Sejarah manusia mencari Tuhan, hingga kitab-kitab suci agama yang ada di muka bumi. Tak sekadar itu, tulisan dan koleksi perbandingan agama, kepercayaan, dan keyakinan menjadi bahas diskusi. Bahkan tak sedikit setelah membaca tulisanku, mereka semangat mengikutinya.
Pagi hari mengikuti perkembangan kabar dalam negeri melalui media cetak yang telah menjadi langganan. Perpustakan pribadi seperti menjadi ruang semedi. Kekayaan abstrak. Namun tetap bangga ketika buah tulisan sudah mengantarkanku terbang ke mana-mana. Undangan dari luar daerah hingga ke luar negeri. Tulisan telah tersebar di negeri Nederland hingga Australia.
Tetapi itu bukan kegemaranku menunjukkan diri. Sekadar mengingatkan kepada keangkuhan baru. Muncul bersatu dengan Rahwana yang peka dengan zaman. Sedangkan Pandawa dan Rama terkubur ratusan tahun lalu. Sumbangan jiwanya menginggapi orang-orang yang arif atau sekadar pelampiasan naluri untuk mencairkan suasana. Aku bukan Dorna yang wiracarita Mahabharata mampu menjadi guru para Korawa dan Pandawa. Pintar dalam pertempuran dan membagi ilmu detail kepada murid kesayangannya Arjuna. Bahkan mampu mengalahkan kasih sayangku kepada Ranu dibandingkan Arjuna.
Anak-anak muda yang belajar di rumah tak mensia-siakan waktu. Mereka membaca berbagai buku. Tak jarang mereka juga membawa literatur sendiri. Kizil misalnya, seorang remaja penuh semangat dengan segudang pengetahuan. Ia hapal betul peristiwa 1965. Bahkan begitu detail ketika menjelaskan peristiwa berdarah itu. Tragedi kemanusiaan ia menyebutnya.
Mereka pun membentuk diskusi kecil di bawah pohon beringin di pojok. Di kursi panjang dan belakang perpustakaan. Berawal dari santai namun terkadang terbawa suasana berujung masalah serius. Pak Johan misalnya, ia bertahan dengan argumen harus tetap memperjuangkan nasib buruh ketika berbicara tentang Marsinah. Buruh yang mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Desa dan Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Beberapa di antaranya diskusi dengan ajaran hingga filsafat agama. Meski demikian, mereka justru tumbuh dengan pemikirannya. Namun ada juga mereka semakin kuat iman dan keyakinan beragama. Pak Karyo, dia adalah pensiun guru agama di sekolah dasar. Ia belajar kitab-kitab kuning. Bahkan ia tidak mau sama sekali belajar kitab yang sudah diartikan atau istilahnya kitab jembrokan. Pak Karyo tetap menggunakan pena tultul dengan tinta bahan inti pohon pisang. Ia benar-benar muslim taat. Namun ia tetap terbuka ketika diajak diskusi. Tidak hanya dengan orang-orang sebayanya, namun dengan anak-anak yang umurnya jauh di bawahnya.
“Kang sampeyan percaya dosa itu bisa dihapus?” tanya Paimo saat duduk berdua di kursi belakang rumah di suatu sore itu.
Ya tentu percaya. Setiap tindakan yang didasari dengan niat baik pasti ada pahalanya. Jadi ada amalan-amalan yang bisa menghapus dosa. Tetapi kalau sampeyan percaya.”
Pak Karyo mencoba mendeskripsikan penjelasan. Ia juga sadar lawan bicaranya adalah Paimo yang secara gagasan pikiran kiri. Ia beberapa kali mengatakan hidup ini tanpa harus melibatkan Tuhan. Hidup adalah hidup, tanpa ada campur tangan Tuhan. Namun ia dengan senang hati berbaik antar sesama manusia. Tanpa membedakan apalagi dilandasi kebencian. Paimo dulu pernah nyantri  di beberapa pesantren terkenal di Jawa Timur. Tepatnya di Kabupaten Jombang, tetapi aku lupa menyebutkan nama pondok itu.
Nah amalan itu banyak. Misalnya, berjalan ke masjid, Allah mengangkat satu derajat dan hapus satu dosa. Belum lagi kalau kita puasa Arafah dan Asyura. Puasa Arafah Allah akan menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Kalau puasa Asyura, Allah bakal menghapus dosa setahun yang telah lalu.”
“Ini menurut keyakinan ku. Tentu akan berbeda ketika situ yang berbicara.”
Pak Karyo kembali menegaskan kepada Paimo bahwa posisi berbicara di bagian kanan. Paimo lantas memegang jidatnya. Sambil bergumam lalu menghisap rokok dalam-dalam.
“Saya sangat sadar Kang. Kita di sini berbicara bukan harus berkeyakinan. Yang terpenting saling menghargai khan? Itu menurut sampeyan dan ini menurut saya.”
“Iya saya sadar itu. Tidak masalah, apalagi saya tahu betul siapa Pai.”
Keduanya tampak terlibat diskusi lebih serius. Waktu itu aku sedang membaca buku di samping mereka. Kira-kira berjarak dua atau tiga meter. Suara mereka yang lantang membuat pembicaraannya terdengar sampai ke telingaku.
“Menurutku begini Kang. Sampeyan pasti ingat dengan teori timbangan amal baik dan buruk. Timbangan itu lah yang menjadi menyakinkan berbuat baik dan buruk manusia. Tetapi bukan bagi saya, bukan semaunya, bukan dilandasi agama.”
Paimo melanjutkan.
“Dosa itu tidak bisa dihapus. Keburukan dan kebaikan itu sama menumpuknya. Maka misalnya berbuat buruk maka berbuat baik sehingga jika nanti ditimbang maka akan berimbang. Atau lebih kebaikannya.”
Mereka kemudian melanjutkan perbincangannya. Sedangkan aku sibuk sendiri dengan bacaan terbaru. Tentang agama yang kini ramai dibicarakan. Agama Baha’i. Ku heran ketika seorang penganutnya ditolak saat membuat KTP.
Waktu terus berjalan. Hari itu, mereka pergi satu per satu. Setelah diskusi siang ramai yang riang. Aku tak merasa ada yang aneh. Bagiku sudah biasa mereka datang dan pergi. Hingga waktu menjelang petang. Lantas menapaki malam.
“Pak! Anda yang mendalangi semuanya ini.”
“Mendalangi apa? Enak saja main tuduh.”
Tiba-tiba tiga bapak-bapak penuh amarah meraih tanganku. Seorang lagi dengan wajah ditutup dengan senjata lengkap. Malam begitu kalut. Tanpa ada seorangpun yang tahu. Namun aku tetap tenang.
“Aku bukan ustaz atau kiai yang kau tuduh sebagai tukang santet. Atau seorang jaringan.”
“Bukan itu urusan saya menjelaskan ini. Kami hanya menjalankan perintah.”
“Ah, kamu ini ada-ada saja. Saya ini hanya dosen. Dosen tahu! Memang ada orang-orang yang hilir mudik ke sini, tetapi mereka belajar. Belajar ilmu, bukan kanuragan.”
Darah sudah naik di ubun-ubun. Menyatu mengepal hingga tenaga terpusat di tangan. Jari-jari pun mengepal. Namun moncong pistol tak mau diajak argumentasi. Mereka telah meletakkan tepat di tengah jidat. Sembari itu, mengunci kedua tangan ke belakang punggung. Kemudian mereka membungkus kepalaku hingga tak tahu lagi mereka ke mana. Aku pun sempat berpikir melawan. Tetapi kalau nekat nanti berujung pada tembakan kematian.
Rumah yang biasanya ramai tetapi malam itu benar-benar sepi. Tak ada siapapun. Sepertinya sudah di-setting atau mereka memang diteror dulu. Mereka diperintahkan meninggalkan rumah sebelum ada peristiwa penggerebakan itu. Aku tak menyangka dan tak mengira. Aku tak tahu mengapa bisa terjadi seperti. Apa penyebabkannya? Apa salahku?
Pikiran pendek. Mati penuh arti dan kuburan dijejali bunga. Tangisan semangat mengobarkan tanah makamku. Bunga-bunga semerbak menghiasi ke semua pemakaman. Mati tanpa arti bagi mereka, tetapi kehormatan bagi kami. Cinta kasih menyeruak ke daratan perjuangan. Antara hak dan kewajiban mereka biarkan tanpa ada keseimbangan. Apa mereka mengerti. Ketegangan dengan mereka semakin memuncak. Perjuangan telah di atas tekat hingga tinggal menolak.  Para nabi pun telah pulang ke rumah orang tuanya. Para pastur menunggu panggilan Tuhan. Para kiai mendekati sakratul maut menanti malaikat pencabut nyawa.  Aku pun tak ingat apa-apa. (*)


Denpasar, 2016

1 komentar:

  1. like,,,,, kata2 ini" masa muda, cerita kaum murtad".... bisa dimaknai lebih dalam, untuk mempersiapkan masa depan lebih baik. dengan tidak terlena pada kesementaraan..

    BalasHapus