Rabu, 13 Januari 2016

cerita lisan begitu terkesan


Suara Paiman tiba-tiba serak. Tepat waktu ia mengakhiri cerita tentang batu-batu besar yang ada di depannya. Ia sedikit gugup. Tangannya tiba-tiba gemetar. Bahkan rokoknya jatuh. Ia lalu berkata lirik kepadaku.

“Maaf, Yang Mbaurekso sedang ada di sini!”

Paiman benar-benar menghentikan ceritanya. Lantas ia meninggalku begitu saja tanpa mengindahkan diriku yang begitu penasaran. Belum selesai. Belum ada ending. Belum ada jawaban. Tentu saja cerita Paiman itu atau diperpanjang lagi jika Mbah Kakung bercerita menjelang malam. Tentang isi hutan jambu mente atau jambu monyet yang berada di pinggir desa. Hutan luas penuh cerita di lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tentang batu-batu hitam berbentuk bayi, kereta hingga batu peninggalan leluhur yang tak pernah kami dijamah.

Perjalanan menyenangkan, apalagi bertemu dengan orang-orang Ngliman. Mereka begitu antusias bercerita tentang air Terjun Sedudo. Sejarah sampai khasiat awet muda. Dan banyak lagi cerita-cerita lisan di sekitar kita yang begitu saja terlewatkan.

Namun, cerita lisan yang begitu terkesan ini justru dipandang sebelah mata. Apalagi bagi mereka yang tak pernah belajar tentang cabang-cabang ilmu sosial. Atau secara radikal menyebut cerita yang dibuat-buat. Mengada-ada. Tidak masuk akal. Tidak logika. 

Bagiku ini adalah ilmu. Sastra lisan yang menjadi bagian dari Folklor. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat membentuk Folklor. Sebuah bentuk seni sastra yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Tentu pada hakekatnya tindakan komunikasi secara vertikal maupun horizontal, yang disublimasikan sedemikian rupa sehingga tidak tampak vulgar. Ia memiliki peran sebagai alat komunikasi.

Belum lagi jika didefinisikan sebagai formulasi dari pengalaman rasa dan kehidupan batin yang diungkapkan melalui media diskursip. Bahkan tidak bersifat praktis, bukan pula filosofi atau ilmu agama, politik, dan kaidah sosial lainnya. Folklor selalu hadir sebagai unsur kebudayaan yang penting sepanjang sejarah kehidupan manusia. Folklor juga bisa diartikan atau ditafsirkan sebagai media komunikasi berekspresi, penuh pesan, kesan, dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari lingkungannya.

Folklor merupakan bagian dari kesenian tradisional. Sejak dulu telah digunakan sebagai sarana secara langsung dalam berbagai kegiatan. Ini tentu karena sifat folklor yang mempunyai keistimewaan yaitu bisa berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat lingkungannya dalam bahasa yang sederhana. Cepat diterima dalam pikiran. Ini bagian episode Folklor. (*)

2016

Sejumlah remaja putri membawa kendi yang berisi air yang diambil dari air pancuran terjun sedudo saat prosesi Siraman Sedudo di Desa Ngliman, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ritual siraman di air terjun Sedudo tersebut dilaksanakan setahun sekali menjelang purnama bulan Suro (penanggalan Jawa) sebagai simbol pembersihan diri. (ANTARA/Rudi Mulya)

0 komentar:

Posting Komentar